Peran Masyarakat Dalam Pengendalian TB

Penanggulangan Tuberkulosis  di Indonesia sebetulnya sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda, namun terbatas pada kelompok tertentu. Dan setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Kemudian sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah panduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Ethambutol selama 6 bulan.




[(sumber : www.tempo.com) (sumber : www.tempo.com)[/caption]

Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan beban TB terbanyak di dunia. Keberhasilan dalam program pengendalian TB, tidak serta merta menurunkan penemuan kasus baru. Diperkirakan pada 2012 terdapat 730.000 kasus baru dengan angka kematian akibat TB yakni 67.000 per tahun atau 186 orang per hari. Tujuan strategi nasional program TB di Indonesia adalah menurunkan secara tajam beban penyakit TB untuk mencapai target TB global pasca tahun 2015 yakni eliminasi kematian dan penderita TB melalui akses Universal Health Coverage dan fokus pada peningkatan kualitas dan pengobatan TB yang berbasis pada pasien (Patient Centered Approach).

Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse)dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.

Strategi ini terdiri dari 2 tujuan utama: menyembuhkan 85% dan mendeteksi 70% orang-orang yang terinfeksi TB1. DOTS memiliki 5 komponen utama, yaitu:
1. Dukungan Pemerintah
Pengendalian penyakit menular, termasuk TB, adalah tanggung jawab dari pemerintah. Komitmen politik yang kuat, tahan lama, serta terkoordinasi adalah hal yang sangat penting bagi penanggulangan TB.
2. Mikroskop
Cara terbaik untuk mendeteksi seseorang dengan infeksi TB adalah dengan menguji dahak (sputum) mereka dengan mikroskop. Seseorang dengan kuman TB di dalam dahaknya (smear positive) akan 10 kali lebih mudah menularkan TB daripada yang tak ada kuman TB dalam dahaknya (smear negative) 1.
3. Obat
Perawatan penuh dengan pemberian obat adalah kunci untuk pengendalian TB. Program pengendalian TB harus menjamin sebuah mekanisme obat TB yang berkelanjutan dan tak pernah berhenti sampai sembuh.
4. Pengawas
Dalam perawatan penderita TB, semua obat dalam jangka waktu 6-8 bulan harus diminum agar penderita bisa benar-benar terbebas dari TB. Untuk memastikannya, peran dari pengawas sangat diperlukan. 30% dari pasien akan gagal dalam proses penyembuhan jika tidak ada pengawas dan hanya kurang dari 5% yang akan gagal apabila terdapat pengawas untuk meminum obat1.
5. Laporan
Sebuah sistem monitoring yang baik adalah sebuah kebutuhan yang penting untuk meyakinkan bahwa para pasien telah benar-benar sembuh. Laporan individu setiap pasien yang dirawat, daftar semua pasien yang dirawat dan laporan reguler dari hasil pasien yang dirawat merupakan sistem dasar yang harus dipenuhi.

Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan tb (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5) Memberdayakan pasien dan masyarakat
6) Melaksanakan dan mengembangkan riset

DOTS memang merupakan langkah komprehensif untuk menanggulangi TB, tapi DOTS tak akan pernah bisa sukses jika hanya dilakukan oleh pemerintah. Peran LSM sangatlah signifikan dalam menyukseskan DOTS. LSM dapat menyediakan pelayanan terkait dengan TB melalui klinik atau rumah sakit. Di sini, LSM akan berperan sebagai pelayanan baris kedua (second line tratment) untuk para penderita TB. LSM bisa berperan sebagai pendidik masyarakat dalam perawatan TB. Hal ini diperlukan karena banyak dari masyarakat yang tidak mengerti tentang bagaimana gejala TB, perawatan dan cara pengobatannya. LSM juga dapat mendorong perawatan berbasis komunitas (community based care). Melalui perawatan ini, LSM mendorong komunitas untuk lebih peka terhadap penderita TB dengan program-program yang dibuat oleh komunitas tersebut. Selain itu, LSM juga dapat membuat sebuah riset yang berguna untuk perkembangan dalam penanggulangan TB.

Oleh karena itu, peran serta masyarakat dan LSM sangat penting terutama untuk meningkatkan komitmen masyarakat dan LSM terhadap pengendalian TB, terutama peningkatan komitmen dari pemerintah lokal serta menjangkau populasi khusus yang rentan terhadap TB yakni perempuan, anak, manula, ODHA, kaum pendatang, dan para warga binaan. LSM sebagai komunitas yang dekat dengan masyarakat diharapkan dapat memberikan edukasi Tuberkulosis yang lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat. LSM dan masyarakat diharapkan ikut turut berperan serta dalam meminimalisir stigma dan diskriminasi terhadap pasien dengan Tuberkulosis.

Dalam Workshop Optimalisasi Peran Komunitas dan LSM Dalam Pengendalian TB di Indonesia” pada tanggal 7-8 April 2014 di Hotel Kemayoran Ibis,Jakarta, Mr Thomas Joseph dari WHO HQ yang menyampaikan materi tentang Engage-TB approach. Beliau mengatakan bahwa penyakit TB adalah penyakit yang mematikan terbesar kedua setelah penyakit HIV. Sepertiga dari total penderita TB tidak dilaporkan dan tidak mendapatkan penanganan. NGO dan CSO harus dilibatkan juga untuk mencapai ke masyarakat marjinal agar semua penderita TB dapat terjangkau. Setelah penyampaian materi dari WHO peserta dibentuk dalam 4 tim kelompok kecil untuk mendiskusikan tentang nilai lebih dan kurangnya jika LSM diintegrasikan ke dalam program TB serta diskusi mengenai peluang yang memungkinkan dalam peningkatan komitmen LSM dalam program pengendalian TB.

Workshop ini dibuka oleh Kepala Subdit TB Kementerian Kesehatan, Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH dengan memberikan penyampaian materi tentang situasi dan peran serta NGO dan CSO di Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa implementasi konsep perluasan pelibatan NGO dan CSO dalam program pengendalian TB bertujuan untuk mengoptimalkan dan mendorong tercapainya akses universal terhadap layanan TB yang berkualitas dilakukan melalui peningkatan angka notifikasi sebesar 5-10 persen untuk menutup kesenjangan kasus yang belum terjangkau di masyarakat dengan tetap menjaga kualitas pelayanan (angka keberhasilan pengobatan diatas 85%); melindungi hak pasien untuk memperoleh akses terhadap layanan TB berkualitas; memperkuat komitmen berbagai pemangku kepentingan disetiap tingkatan; mendorong dan mengawasi pelaksanaan berbagai regulasi untuk pengendalian epidemi TB dan TB MDR; mengurangi angka kesakitan, kematian dan beban sosial TB.

Menurut Prof. Tjandra, ada beberapa tantangan dalam pengendalian TB di Indonesia diantaranya meningkatnya kasus Multi Drug Resistant (MDR-TB) dan ko infeksi TB-HIV. Untuk itu perlu kegiatan kolaboratif antara kedua program TB dan HIV serta ekspansi manajemen program kasus TB-MDR. Tantangan lain, dengan semakin komprehensif dan integratif program, manajemen program TB semakin complicated. Untuk itu perlu keterlibatan semua pihak dalam pengendalian TB termasuk masyarakat, organisasi profesi, organisasi sosial kemasyarakatan, dan pasien. Penguatan sistem dan layanan kesehatan penting untuk meningkatkan akses terhadap layanan TB. TB juga merupakan penyakit terkait dengan kesejahteraan dan kemiskinan. Oleh karenanya perlu penanggulangan secara intersektoral sehingga keterlibatan masyarakat akan semakin penting untuk pengembangan kebijakan, program dan mobilisasi sumber daya.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog TB #SembuhkanTB

banner lomba tb

Sumber Referensi :






Comments