Mari Kita Cegah Ko-Infeksi TB-HIV

TB dan HIV dua dari sekian jenis penyakit menular yang sudah tidak asing lagi di masyarakat. Tapi apakah semua masyarakat sudah cukup paham jika dua penyakit ini mempunyai hubungan yang cukup erat dan bisa dikatakan persekutuan yang berbahaya. Dimana HIV itu meningkatkan resiko terjadinya TB secara signifikan. Peran serta dari tenaga kesehatan supaya masyarakat lebih memahaminya sangat diperlukan. Sehingga nantinya setelah masyarakat cukup paham bisa berpartisipasi dalam upaya penanggulangan kedua penyakit tersebut.

Indonesia sudah berada pada arah yang tepat dalam pelaksanaan program penanggulangan Tuberkulosis (TB), dibuktikan dengan telah dicapainya target global sejak tahun 2006 yaitu penemuan kasus baru >70% dan angka kesembuhan >85%. Namun TB merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Besar dan luasnya masalah TB di Indonesia diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap bermacam obat).

Seperti kita ketahui bahwa penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit secara global. Dengan munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global. Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya pengendalian TB.



[caption id="attachment_244" align="aligncenter" width="300"](sumber: writingcompetition.blogspot.com) (sumber: writingcompetition.blogspot.com)[/caption]

Apa pengertian dari  Ko-Infeksi TB-HIV itu?
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapiTB . Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat.

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut diatas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.



[caption id="attachment_247" align="aligncenter" width="405"]Faktor Resiko Kejadian TB Faktor Resiko Kejadian TB[/caption]




TB dan HIV adalah persekutuan yang berbahaya ?

Seperti telah di singgung di atas, bahwa Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Jadi bisa disimpulkan kedua penyakit ini merupakan persekutuan yang cukup berbahaya. Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV terjadi.  Dan resiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70%. Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan. Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas penyakit menjadi lebih cepat.

Secara umum tantangan utama kolaborasi TB-HIV diantaranya :



  1. Meningkatkan jejaring layanan kolaborasi antara program TB dan program HIV.

  2. Meningkatkan akses tes HIV atas inisiasi petugas kesehatannyang ditujukan bagi pasien TB.

  3. Memastikan bahwa pasien yang terdiagnosa TB dan HIV harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal untuk TB dan secara cepat harus di rujuk untuk mendapatkan dukungan dan pengobatan HIV AIDS.

  4. Memastikan pendekatan pelayanan kesehatan pada pasien TB-HIV.

  5. Monitoring dan evaluasi kegiatankolaborasi TB-HIV.

  6. Ekspansi ke seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia

Adapun hal-hal yang dilakukan untuk menurunkan beban TB pada ODHA diantranya :



  • Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA

Kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan penerapan skrining gejala dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di klinik Konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS) dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan menggunakan formulir skrining TB. Dari 18 provinsi yang telah melaporkan data TB-HIV pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak 63% ODHA telah diskrining untuk gejala dan tanda TB ; 9,2% di antaranya didiagnosis TB. Untuk menjamin penegakan diagnosis TB yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun jejaring antara unit KTS/PDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTS/PDP sudah dapat memulai dan atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi formulir TB .01.



  • Pengobatan pencegahan dengan INH

Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV belum memasukkan pemberian Isoniazid preventive therapy (IPT) pada ODHA sebagai standar layanan rutin sehingga belum ada praktek pemberian IPT pada ODHA yang dilaporkan. Tetapi mulai bulan Mei 2012 telah dilaksanakan kegiatan pendahuluan pemberian INH profilaksis untuk ODHA di 2 Provinsi (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat), 4 RS (RS Persahabatan, RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin dan RS Marzuki Mahdi). Penerapan pengendalian infeksi TB di unit KTS/PDP dilakukan melalui penguatan tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) RS melalui pelatihan petugas yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit TB dengan Subdit RS Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan Perdalin.



  • Memastikan pencegahan dan pengendalian (PPI) TB di layanan HIV

Sedangkan Pengendalian Infeksi di Puskesmas dan Lapas/Rutan dimulai dengan melakukan assessment dan sosialisasi di 7 provinsi bekerja sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Ditjen Pemasyarakatan. Pemasangan poster cara menutup mulut dan hidung pada waktu batuk/bersin dan penyediaan masker untuk klien dan ODHA yang mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan.

Sedangkan hal-hal yang dilakukan untuk menurunkan beban HIV-AIDS pada pasien TB adalah :



  • Menyediakan layanan tes HIV pada pasien TB dan konseling

Walaupun berdasarkan kebijakan nasional pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, konseling dan tes HIV dilakukan pada semua pasien TB di daerah epidemi HIV meluas tetapi data dari Provinsi Papua menunjukkan baru sekitar 22% pasien TB yang dikonseling dan tes HIV. Sedangkan di daerah dengan epidemi terkonsentrasi, konseling dan tes HIV yang dilakukan pada pasien TB dengan faktor risiko HIV bervariasi antar wilayah antara 0,1 - 6%. Provider Initiated Testing and Counselling (PITC) atau konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan (KTIPK) baru diterapkan di beberapa RS, BBKPM/BKPM dan puskesmas di Provinsi Papua, DKI Jakarta dan Jawa Timur, dimulai dengan pelatihan pada pertengahan tahun 2010.



  • Pencegahan HIV dan IMS.

Pemberian KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) pencegahan HIV dan IMS kepada pasien TB dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan menggunakan media KIE yang telah disediakan. Penyediaan kondom di unit TB masih belum dapat diterapkan



  • Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) ARV untuk HIV/AIDS.

Cakupan pemberian PPK pada pasien ko-infeksi TB-HIV baru sekitar 63% dan sebanyak 29% mendapatkan ARV.

Sumber referensi :




Comments